Surabaya - Gresik.
Start pada etape ke-3 lebih siang secara gradual dari‐ pada 2 etape sebelumnya. Kami start kali ini selepas matahari terbit.
Start |
Waktu yang sudah cukup siang untuk menempuh perjalanan dari Surabaya menuju Gresik. Penuh leliku menyelip di antara truk besar dan aliran sepeda motor di kawasan pergudangan Margomulyo. Perlu ekstra hati hati sebab segmen Jalan Gresik
tidak memiliki pembatas jalan antara dua lajur yang berlawanan arah. Cukup mengejutkan sebab yang saya rasakan jarak tempuh tidak sejauh perkiraan. Tanjakan di depan Gelora Olah Raga Jaka Samudra menyambut kedatangan kami di Kota Pudak.
Agak agak melankolis dengan sensasi nostalgia setelah kemarin naik sepeda lewat Surabaya - Sidoarjo yang merupakan angan angan masa kecil, lalu ini hari lewat Gresik yang juga merupakan rute kenangan semasa pendidikan. Lamunan terhenti oleh dering telepon: dr. Achmadi berpesan singkat agar kami mampir sebentar untuk jumpa singkat di depan Kantor Bupati Gresik sebelum lanjut ke Lamongan.
Gresik |
Gresik |
Bersama dr. Achmadi founder YSCC di Gresik |
Gresik - Lamongan
Segment ini merupakan segmen persentuhan awal dengan truk truk besar Pantura Surabaya-Jakarta. Kondisi jalan yang cukup besar dan adanya pembatas antara lajur yang berlawanan membuat kami cukup tenang meskipun tetap ekstra hati hati mepet di
sisi kiri jalan. Perjalanan diputuskan jeda di Kaliotik Lamongan untuk sarapan pagi. Pukul 08.30.
Kaliotik Lamongan |
Selama 3 etape terakhir, mengingat kondisi fisik tentunya semakin menurun, kami cermati dengan secara gradual start lebih siang, tetapi secara gradual pula pitstop untuk makan semakin dini, dengan bertahap segment antar pitsop dipersingkat durasinya: alhasil selama 3 etape terakhir catatan data di bikecomp menunjukkan rata rata kecepatan yang tetap, dengan durasi di atas sepeda semakin panjang, dan respon rerata denyut nadi semakin rendah.
Lamongan Kota - Babat
Kalau boleh dibilang, agak sedikit gegas di sini. Durasi cukup singkat: 50 menit. Kami berhenti di toserba tepi jalan untuk bekal ulang air.
Toserba Babat |
Babat - Kota Tuban
Segmen yang cukup membuat nyali ciut: sebab ini adalah segmen awal setelah kami memutuskan untuk tidak lewat Bojonegoro - Cepu, dan lanjut lewat Pantura, seakan-akan awal evaluasi mengenai tepat-tidaknya keputusan tadi. Terik tengah hari dan angin menahan laju kami menuju Tuban Kota. Sebuah kendaraan berisi kelompok mekanik salah satu merek sepeda motor mendadak menyalip kami yang tengah terseok-seok di tanjakan sebelum gapura masuk Kota Tuban dan menyemangati dengan kepalan tangan di udara : lanjutkan Pak, pro pedal !!!!
Tuban Kota
Sesuai saran dr. Achmadi kami mengikuti telusur
jejak di mesin perambah rute di ponsel kami
untuk menuju tepi pantai Kota Tuban demi makan siang di Sate Pak Ran.
Sensasi leliku dalam kota menuju pantai ini cukup menghibur. Warga kota Tuban cukup ramah memberikan arah yang lebih las ketimbang apa yang nampak di ponsel kami. Awalnya saya agak sebal karena merasa detour di dalam kota yang banyak perskmpangan lampu merah ini akan menghabiskan waktu, tetapi seketika rasa senang yang luar biasa muncul seketika nampak ujung unung tiang perahu layar di lepas laut tepi Pantura Jawa. Sejurus kemudian kami berhasil sampai di Sate Pak Ran untuk mandi, istirahat sholat dan makan siang.
Tuban Kota - Pantai Sowan
Kami sempat berdiskusi sembari mengudap sate: mau bagaimana ini hari, apakah tetap lanjut sampai 150 km di Pantai Sowan, atau lanjut ke Rembang. Saya memutuskan ambil jalan tengah: lanjut ke Pantai Sowan dan tambah sedikit untuk cari penginapan sekenanya, toh itu berarti sudah lebih dari 150 kilometer jarak tempuh hari ini dan hanya 37 km dari Tuban, dengan asumsi masih merupakan daerah wisata dengan tersedia penginapan dan bila lanjutkan perjalanan pukul 14.45, berarti kami akan sampai sekitar pukul 16.45 atau 17.00. Adapun kekurangan dari pilihan ini berarti pada etape ke-4 kami harus tempuh lebih panjang. Agak gamang sebab tentu tidak nyaman bila harus lebih panjang di etape terakhir.
Dan terbukti keputusan saya: salah.
Tidak ada penginapan di kisaran Pantai Sowan.
Pantai Sowan Pantura |
Perjalanan kami lanjutkan sampai perbatasan propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Perbatasan Jawa Timur Jawa Tengah |
Perbatasan Jawa Timur Jawa Tengah |
Sudah ekstra 10 km, lelah, dan kecut senyum kami mendengar ketegasan dari warga sekitar: Tidak ada penginapan kecuali yang terdekat di Lasem. Empat puluh kilometer lagi. Saya melirik salah satu banner tepi jalan restoran di Kota Rembang: 52 kilometer, begitu katanya.
Sepertinya mau tidak mau akan haris lanjut sampai ke Lasem atau Kota Rembang. Night ride tentu pilihan yang tidak enak untuk touring cyclist. Apalagi lewat Pantura. Agak agak ngeri ngeri sedap gitu membayangkan truk beroda 22 merayap di samping telinga di malam yang gelap diiringi Maghrib yang sudah mengambang. Setelah jeda sholat Maghrib saya mendapatkan banyak sekali petuah bijak dari Pak Bambang Sutrisno tentang bagaimana bersepeda ini adalah miniatur kehidupan, dan bagaimana kesabaran dan rasa senang adalah energi yang penting untuk tetap laju saat
ragu kadang diperlukan.
Perambah di ponsel saya menelusuri jajaran hotel terdekat. Saya pilih salah satu dengan jarak terdekat. Sekilo, sepuluh kilo, banner berseri dari restoran yang sama di Kota Rembang seolah menjadi paduan suara yang kompak dengan hitung mundur jarak tempuh
di Google Maps. Suara laut meruak saat jalanan mendadak senyap dari truk yang melintas. Lampu PJU hilang timbul. Rasa lapar mulai muncul.
Selanjutnya percakapan antara Pak Bambang dan saya semakin irit. Sebagian karena kami sibuk dengan lapar dan dingin, sebagian lagi karena perlu konsentrasi ekstra mengamati situasi jalanan di depan kami lewat pendar lampu sorot kendaraan yang lewat.
Hitung mundur banner mulai menunjukkan angka 15 kilometer, kami sudah sampai Lasem. Ternyata hotel yang kami tuju berada di sekitar Pasar, pintu masuknya seru. Sepeda kami naiki melalui pengunjung restoran yang sedang duduk di teras gedung loji berusia 200 tahun yang dihiasi cahaya temaram. Bangunan hotel yang baru dibangun dan beroperasi 2 bulan dengan eksterior dan interior yang seumpama mereka ulang atmosfer 200 tahun silam mulai dari colokan listrik, kursi kayu sampai meja rias. Kami check-in sembari asik membuat foto untuk obat lelah. Bapak Himawan selaku pengurus hotel memberikan tour singkat dan berbagi kepada saya via pesan singkat video ulasan hotel dengan adegan pembuka drone yang memotret senja di Lasem.
Malam jatuh di Lasem. Etape ke-3. Kota yang terakhir padanya saya hanya numpang lewat lebih dari 10 tahun silam. Seperti biasa kata Pak Bambang ketika kami bongkar pannier bersiap mandi: perjalanan bersepeda itu seperti episode hidup. Tidak akan terulang meskipun kamu paksakan. Kamu harus sabar dan ikhlas. Hanya dengan itu kamu bisa membuang rasa susah dan menggengam rasa senang setiap saat. Cukupkanlah hidupmu karena dengannya
harus kau jadikan usaha bertambahnya kebaikan amalmu. Tunggulah giliran ajalmu datang dengan rela karena padanya akan berakhir segala keburukan dan nestapa di dunia. Terima apa adanya. Rayakan hidupmu dengan sewajarnya sesuai apa adanya. Nikmati momennya.
Lasem |
Lasem |
Risandi Pradipto
Lasem, Jawa Tengah
Jumat, 20 Juli 2018
04:15 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar