Sifat makhluk hidup adalah berpindah tempat, itu kata buku teks IPA
anak SD jaman 80-90’an di Indonesia seperti saya. Olahraga sepeda adalah salah
satu contohnya, dan mengapa olahraga menjadi penting, sebab saya sangat
terinspirasi oleh suatu dialog di film Dead Poet’s Society (1989) – bukan,
bukan Carpe Diem (terima kasih sudah mencoba menebak dan ikut bermain) - dimana
John Keating yang diperankan oleh Robin Williams berkata “Sports are a chance for us to make other
human beings push us
to excel”.
Sebenarnya jika judul tulisan ini
dijawab secara singkat, mengenai bagaimana bertahan sampai akhir, maka jawabannya
adalah semangat untuk terus bergerak. End of story. And we can all go on with
our lives. Tetapi seperti kata Hubert Laws: “When you listen to someone
improvise, the notes that are played are only half the story.", maka paragraf
selanjutnya adalah cerita dibalik itu.
Tentu saja harus disadari bahwa practice
makes perfect, meskipun jauh dari kesempurnaan, setidaknya latihan rutin
akan memperbaiki daya tahan fisik dan mental dalam menghadapi rute panjang dan
menantang. Saya suka bersepeda semenjak kanak-kanak, jaman SMA pun masih ngapel
ke rumah anak gadis orang pakai sepeda angin, sepeda terakhir saya adalah sejak
tahun 1996. Sepeda yang sekarang saya pakai, jenis road bike, termasuk keseriusan saya bersepeda secara rutin
dibimbing oleh kawan kawan di YSCC baru semenjak 1 Pebruari 2015. Benar.
Belum lagi setahun. Semoga ada sedikit semangat yang bisa saya bagikan bagi
anda untuk memulai hobi ini, atau kembali menemukan ketertarikan dalam meneruskan
olahraga yang seru ini.
Awalnya tentu saya bersepeda hanya dalam jarak dekat dengan durasi
kurang dari satu jam. Tetapi YSCC berhasil memotivasi saya sebagaimana kutipan
yang disampaikan oleh John Keating di atas, untuk lebih telaten dan terarah
dalam membangun kekuatan untuk bersepeda lebih jauh. Sampai akhirnya Grand Fondo pertama saya
pada 10 Mei 2015. Masih belum memakai BIB Short. Sendirian. Tanpa bike comp.
dan sepatu olah raga biasa (bukan clip-less pedal). I did it. Meskipun di
Banyuwangi Genteng-Ketapang-Genteng sejauh 107 km harus diselesaikan dalam 6
jam lebih, terlalu lama menurut ukuran kawan kawan yang sudah lebih lama
berlatih, namun itu sebuah prestasi besar bagi diri sendiri untuk mengalahkan
segala keraguan dan kekhawatiran, disamping tentu menjadi modal untuk
penaklukan selanjutnya. Seperti kata Arifandi Wijaya – mengalahkan dirimu
sendiri.
Tantangan Berikutnya adalah tantangan perayaan Tour de France Alpe d’Huez di Strava
dimana secara akumulatif sebuah tantangan jarak tempuh dan total elevasi
diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. Selesai juga sekaligus menjadi Grand
Fondo ke-dua saya. Tentunya dengan bermodal pengalaman saat melakukan Grand
Fondo pertama, dan upgrade pada clip-less pedal untuk efisiensi kayuhan.
Berselang satu bulan kemudian adalah proyek iseng untuk mengisi
liburan panjang 17 Agustus
2015: Genteng-Ketapang lanjut Gilimanuk-Denpasar. Bersama Garuda Satu alias
Zuhad Irfan dan Anthoni Yusbida kami taklukan tantangan itu dengan total waktu
kurang dari 12 jam, jarak tempuh 150 km lebih (Grand Fondo terlalui), pertengahan
musim kemarau, dan rute Roller Coaster sepanjang Gilimanuk-Tabanan. Walaupun akhirnya
memutuskan untuk menyudahi kayuhan di Mengwi karena ingin
segera naik mobil untuk mengejar sunset di
Kuta, namun pengalaman baru sudah didapat: endurance untuk melakukan Grand
Fondo dengan rute Roller Coaster.
Hanya berselang dua minggu setelah itu, tawaran dari Rudy Effendi – Atlit Muda YSCC
Anak Perantauan Solo-Surabaya Pejuang Skripsi – untuk ikut Audax Solo 2015.
Tentunya secara impulsif saya mendaftarkan diri menyusul teman teman yang jauh
lebih lama bersepeda, lebih berpengalaman, dan penuh perhitungan matang: Achmadi, Dewangga Ario, Zuhad Irfan, Dhany Prastyanto, Theri Effendi, dan Rudy Effendi. Lalu menyusul
pula Arifandi Wijaya dan Beny Setiawan. Intinya satu:
semangat untuk terus bergerak mencari pengalaman baru sembari reuni dengan
kawan-kawan.
Reportase mengenai bagaimana Audax Solo 2015 dapat dibaca pada tulisan
Zuhad Irfan di web ini. Kami bersama sama menjalani Audax, tetapi ada
bedanya: dia termasuk yang on time bersama Road Captain hingga finish,
sementara saya, selisih hingga setengah jam (masih dalam batas Audax sih: satu
jam).
Hal yang menarik adalah jargon Audax : Start Together, Ride
Together, and Finish Together. Awalnya saya mengira kita akan selalu bersama
sepanjang jalan kenangan, maksud saya jalan naik dan turun, tetapi kemudian
saya sadar bahwa bukan itu maksudnya. And I found it out the hard (sweet) way.
Saya mengawali rute Audax
Solo 2015 dengan mendengarkan pesan penting dari Achmadi ”Mari kita maju ke tengah peloton. Jangan
di belakang. Mumpung rute masih belum berat, kita ikuti peloton membuka angin.
Jangan tercecer di belakang. Belum saatnya tercecer”, Rute masih belum
berangsur menjadi tanjakan dengan gradien yang secara bertahap meningkat di
atas 5% untuk mulai memilah siapa yang kuat dan siapa yang berusaha tetap
bertahan ketika Rudy Effendi sembari melakukan selfie dengan action cameranya –
saat itu gradien masih antara 1-2%- mengatakan suatu kalimat yang akan saya
ingat sampai di garis finish, bahkan mungkin selamanya di sepanjang hidup saya
saat saya menghadapi tantangan dan kesulitan: “Gimana Mas? Enak kan sepedaannya ? ini bukan tanjakan kok mas, tetapi
cuma jalan datar yang kebetulan sedikiiiit miring”
Tidak lama kemudian tanjakan menghadang. Gradien 6-8%. Peloton mulai
bubrah. Alam melakukan seleksi. Saya mulai menyumpah nyumpah sembari menatap
bayangan Rudy dan yang lain kian mengecil menyisakan debu dan bising napas saya
sendiri yang kian tersengal-sengal. Saya berusaha mengingat pesan Rudy tadi,
dan pesan Zuhad Irfan saat petualangan kami di Bali: “yang sabar sama tanjakan, Mas. Ikuti dengan pace-mu sendiri. Dan jadikan yang lain sebagai penyemangat. Jangan
dikejar. Ikuti saja sebisanya”. Perlahan tapi pasti saya mulai mengamati
cadence dan heart-rate di bike comp, mencari rentang dimana saya merasa nyaman,
dan perlahan sampai ke pit-stop pertama. Senang sekali ketemu teman teman lagi.
Tetapi mereka sudah sempat beristirahat hampir 30 menit ketika saya yang baru
minum beberapa teguk mendengar pengumuman bahwa peloton akan start lagi dalam 5
menit.
Neraka dimulai setelah pitstop pertama, tanjakan dengan gradien
10-15%, saya melihat Zuhad Irfan di depan saya beberapa meter, peloton tercecer
oleh mobil salah satu stasiun televisi swasta yang dating terlambat dan ingin
mendahului peloton untuk mengambil gambar dari depan. Saat itu beberapa cyclist
mulai mengatasi perubahan kecepatan dengan melakukan off-saddle, saya yang
masih excited dan ingin bareng sama teman-teman, tanpa pikir panjang mengejar
Zuhad Irfan yang sedang melakukan off-saddle di bawah sorotan kamera di Gradien
10%, saya ikut di sebelahnya, melakukan off-saddle juga, sampai kemudian kurang
terlatihnya fisik saya menunjukkan dampak: kram mulai merayap di paha kiri
depan sebelah dalam (muscle belly vastus medialis quadriceps), saya oper gir di
bagian rolling untuk memperlambat laju, namun derailleur depan kurang smooth,
saya terhenti. Dhany Prasetyanto menyapa dan menanyakan kondisi saya, menyusul
Rudy Effendi dan yang lain terbukti melakukan strategi lebih tepat yaitu
mengikuti polanya masing-masing dan tidak terlalu terburu nafsu beraksi di
depan kamera seperti saya. Semenjak itu jarak pemisah kian melebar, dan kram
perlahan lahan tidak dapat lagi dibendung pada sisi paha kiri saya.
Sekian belas kilometer kemudian, saya yang mulai tidak konsentrasi
mebebankan kayuhan ke sisi kanan sembari tetap mempertahankan cadence mulai
terlambat minum (Penting diingat selama
Grand Fondo: minumlah sebelum haus, makanlah sebelum lapar). Satu tanjakan
di depan dengan gradien yang berangsur naik, matahari kian terik, saya hadapi
ketika di tengah tengah ada seorang cyclist berhenti karena kram. Saya
melewatinya, dan tidak beberapa lama saya mengalami hal yang sama. Kram
simultan pada paha kiri dan kanan di bagian vastus medialis quadriceps muscle
!!
Saya ingin berhenti saat itu. Ingin beristirahat. Tetapi saya tidak
yakin apakah akan kuat bila memulai lagi setelah berhenti di tengah tanjakan
seperti itu (dan hal ini saya renuingi: berlaku pula dalam setiap aspek
kehidupan), saya juga tidak tahu apakah di depan akan semakin berat, ataukah
akan semakin ringan. Sembari tetap berpikiran positif, saya pasang gir pada
posisi teringan, dengan cadence sangat lambat asalakan tetap mengayuh dan
bergerak. Sembari boros air untuk menyemprot tungkai dengan tujuan mendinginkan
sehinga kram bisa mereda. Lima menit kemudian, menjelang sebuah dataran, kram
itu sirna. Syukurlah. Jarak semakin jauh, air semakin tipis, jarak pit-stop
berikutnya masih 20 kilometer.
Saya kemudian terhibur saat dengan turunan turunan landai yang
panjang dan dihiasi hamparan sawah dari atas tebing di dataran Jawa Tengah,
sejenak membuat saya bersyukur dan melupakan penat dipaha. Tak berapa lama ada
perhentian ekstra membagikan air dan makanan ringan. Saya berhenti untuk
loading air dan ngemil sedikit. Informasi saat itu pit-stop ke-tiga hanya
berjarak 10 km. Saya semakin bersemangat.
Menjelang 2 km dari perhentian yang dijanjikan, panitia dengan
mobilnya menyalip saya sembari menyodorkan senyum simpatik dan air dingin, saya
yang menganggap perhentian sudah dekat, meskipun tidak menguasai medan, menolak
tawaran itu, “thank you. I’m fine.” Ternyata itu adalah kesalahan fatal.
Sudah melewati 3 kilometer. Saya mulai gamang bila saya melampaui
perhentian yang seharusnya, atau malah lebih buruk: saya kesasar. Tibalah di
persimpangan. Penunjuk jalan yang melegakan hati mengatakan “kurang 2 kilometer,
Pak”. Drama berlanjut, beberapa cyclist mulai evac masuk ke mobil, dan tampaklah bike-rack di belakang mobil
mengangkut sepeda mereka, sebagian besar adalah dream-bike idaman saya. jalanan mulai rusak, membuat saya sulit
mengatur cadence karena sibuk menarik rem bila tidak ingin ditumbuk sepeda
motor yang mulai ramai lalu lalang di akhir pekan itu. Jalanan mulai sepi
hunian, apalagi minimarket andalan dengan lemari pendingin berisi jajaran air
yang segar, barulah saat itu saya sadar bahwa saya seharusnya tidak boleh menampik tawaran air dingin tadi. Akhirnya sampailah di
pit-stop ke-tiga. Molor 20 km dari yang dijanjikan.
Setelah makan siang yang agak terburu-buru karena saya ingin
membarengi peloton lagi, rupanya keberangkatan ditunda untuk menunggu fast
group berhenti makan. Agak terhibur dengan candaan rekan rekan. Saya baru mau
tambah makan ketika Rudy Effendi mengingatkan agar tidak terlalu kenyang sebab
setelah ini rutenya adalah menuju Waduk Gajah Mungkur yang masih berisi
tanjakan. Beberapa saat kemudian start menuju Waduk Gajah Mungkur. Tanjakan
menghadang menyisakan saya jauh di belakang.
Beberapa kilometer kemudian saya tidak menunda untuk berhenti di
minimarket, saya putuskan untuk tidak lagi mengejar peloton, tetapi
beristirahat untuk suplai minuman/makanan
berkalium tinggi dengan harapan bisa membantu meredakan kram, dismping 3
botol air mineral dingin. Dua untuk mengisi bidon, satu untuk mengguyur badan
dan kepala, serta tentu saja paha yang masih sedikit pilu oleh kram tadi.
Kali ini adalah segment dimana saya merasa sendiri dan tertinggal,
saya tetap denga pace saya, saya sudah sadari kekeliruan sebelumnya dan tidak
akan mengulang. Lalu saya melihat Ixnatius Ariyando (kesempatan
kali ini berperan sebagai fotografer dan evacuator) dan support car. Saya
berhenti untuk loading air (kali ini keputusan saya sudah tepat) dan
mengencangkan sekrup pemegang bidon. Saya meminta rokok (ya saya merokok),
Ixnatius menampik “rokok ini menunggumu
di garis finish, San. Bukan sekarang. Perjalananmu belumb berakhir”.
Keadaan membaikberangsur membaik, percayalah sesudah kesulitan akan ada kemudahan, performa saya mulai
pulih, bahkan kelak terjadi kejutan yang tidak diduga -dan rasanya tidak
mungkin terjadi- bahwa pada segment Gajah Mungkur
Climb, alias Giritontro Climb
pada leader-boards waktu yang saya tempuh di tanjakan tersebut cukup memuaskan.
Saya mulai terkenang beberapa evac car sebelumnya, dream bike tersebut, bahwa
sebenarnya Grand Fondo ini bagi saya sangat kontemplatif, orang jawa bilang
semua hanya sawang sinawang, masing masing menghadapi masalahnya
sendiri-sendiri, yang membedakan adalah ada orang yang masih memperhatikan
orang lain yang kesusahan di jalan, ada juga yang tidak peduli. Sungguh suatu
miniatur kehidupan. Seorang pengendara motor yang barusan menepi mengacungkan
jempol, dan tersenyum kepada saya di tanjakan terakhir sembari berseru
“semangat Pak. Gajah Mungkur satu kilometer di depan. Bapak pasti bisa”. Jangan
pernah melupakan kalimat yang menyemangati orang lain, kawan, anda tidak tahu
dampaknya. Seketika itu rasanya angin begitu segar, mendorong saya mengayuh
lebih cepat. Saya tersenyum. Pintu masuk Waduk Gajah Mungkur menunggu di sisi
kanan jalan.
Pit-stop terakhir (yang lagi-lagi cukup singkat bagi saya) berlalu.
Kalimat penyemangat dari panitia “who wants to go home? Are you ready to ride
home together?”. Indah sekali. Waktu menujukkan pukul tiga sore waktu setempat.
Tentu bukan hal baru bila saya tuliskan bahwa kali ini pun saya
tetap tercecer di belakang. Hanya bedanya saya sudah ikhlas. Semua orang
memiliki kemampuan masing-masing. Saya yakin saya akan finish juga pada
waktunya. Saya santai sampai kemudian sesuatu terjadi.
Notifikasi di bike comp saya berbunyi “low battery” di jantung kota
Wonogiri. Saya mulai gentar. Catatan perjalanan sangat penting untuk
diceritakan kepada anak cucu kelak. Lalu bagaimana ini? Sementara ETA masih 90
menit. Saat itulah saya putuskan untuk full-speed. Selebihnya adalah perjuangan
saya melawan angin sendiri, meliuk liuk menerabas kemacetan persimpangan yang
padat di akhir pekan. Lalu Kota Solo di depan mata. Apakah permasalahan
selesai? Tentu tidak. Saya kesasar.
Saat itu rute yang di bike-comp sudah tidak cocok dengan panduan
yang diberikan pemandu jalan. Sudah tidak tampak cyclist di sekitar saya. Saya
memutuskan mengikuti peta di bike-comp. Sampai saya sadari bahwa Solo memiliki
banyak jalur satu arah. Saya membeli air di minimarket dan menanyakan arah.
Saya finish dari arah berkebalikan dari rute peloton. Kawan kawan tampak
lega ketika menyalami saya yang dikira menghilang entah dimana sembari
mengambil alih sepeda saya agar saya dapat bersitirahat segera. Dewangga Ario
berkata “ini adat YSCC, San. Achmadi mengajarkan last finisher dihibur dengan
segera istirahat dan kita urus sepedanya”. Itu mengharukan dan saya kenang
selamanya. Saya menerima rokok dari Ixnatius Ariyando, mencomot bike-comp.
Tekan END RIDE. Upload Complete.
Sisanya adalah selebrasi dan unggah perjalanan ke social media, serta
kenangan terbaik dan pelajaran berharga yang akan kita simpan selamanya. Seperti
kata Dhany Prasetyanto hari itu “it’s all about life achievement and
experiences”. Saya sangat setuju bahwa setiap cyclist menyimpan kenangannya
masing-masing. Achmadi memipin doa syukur untuk mengakhiri perjalanan hari itu
sebelum kami mulai barbeque party dan pembagian finishers medals.
Beberapa hari kemudian di perjalanan
menuju Genteng Banyuwangi, saya mendengarkan lagi lagu The Greatest American Hero
dari Joey Scarbury. Ini dulu saya dengarkan di pitstop terakhir Grand Fondo pertama saya
sembari mengasup Madurasa kenangan dari Zuhad Irfan. Saya selalu memutar lagu
ini setiap usai riding yang menurut saya berat.
Saya selalu disemangati, merasa ditemani, oleh lagu ini, oleh
teman-teman YSCC yang jauh di mata dekat dihati. Semoga yang sedikit ini dapat
juga menginspirasi anda. Tetap bersepeda. Tetap semangat. Salam Kudos Bungkus
Karet Lima Nggak Pake Lama !!
Tentang Penulis:
Risandi Harry Pradipto adalah penggemar olahraga sepeda. Anggota
YSCC. Penyuka batik dan pencinta raw denim. Senang jalan jalan dan makan.
Penikmat musik dan film. Bila tidak sedang bekerja di RSUD Genteng Banyuwangi
sebagai Ahli Bedah Orthopedi dan Trumatologi, anda dapat pastikan dia tengah
membuat playlist untuk acara riding sepeda berikutnya sembari memutar piringan
hitam dan membuat dokumentasi fading jeans serta patina barang kerajinan kulit
kecintaannya. Saat ini tengah mempersiapkan diri untuk GFNY Lombok dan
kompetisi Royal Rumble dari
OldBlue Jeans.
tulisan anda membuat orang yang tidak mengikuti Audax atau bahkan tidak pernah bersepeda sekalipun akan merasakan suka duka perjalanan Solo Audax ini. Nice
BalasHapusKudoss...
BalasHapusKudoss...
BalasHapussungguh bangga saya turut berperan mengenalkan roadbike pada Risandi. makin bangga bahwa beliau sudah melampaui saya yang belum pernah berhasil mencatatkan satupun Gran Fondo :D
BalasHapusaseek aseek
BalasHapus